Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua meminta Komisi Yudisial untuk turun tangan dan mengawasi persidangan kasus pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga Nduga yang digelar digelar Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura.
Desakan itu disampaikan setelah Oditur Militer kasus itu menuntut Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi dijatuhi pidana 4 tahun penjara, karena dinilai Oditur Militer hanya terbukti bersalah melakukan penadahan dan menahan informasi kepada atasan.
LBH Papua menyatakan sejak awal kasus pembunuhan berencana dan mutilasi itu disidangkan pengadilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika, karena kasus pembunuhan dan mutilasi itu melibatkan tiga warga sipil. Akan tetapi, enam prajurit enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang terlibat kasus itu diadili di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura.
Kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga itu terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.
Proses persidangan di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura menerapkan dakwaan yang berbeda-beda bagi keenam prajurit TNI itu yang terlibat kasus pembunuhan berencana dan mutilasi itu. Sejumlah lima prajurit diperiksa Pengadilan Militer III-19 Jayapura, dan pada 12 Desember 2022 didakwa dengan dakwaan primer pasal pembunuhan berencana. Mereka adalah Kapten Inf Dominggus Kainama (telah meninggal dunia pada 24 Desember 2022 karena penyakit jantung), Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktaf Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw.
Seorang lainnya, Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi diperiksa Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Surabaya, Jawa Timur. Berbeda dengan kelima anak buahnya, Surat Dakwaan Oditur kepada Mayor Dakhi pada 19 Desember 2022 menempatkan delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsider dalam kasus pembunuhan dan mutilasi itu.
Pada dakwaan pertama primer, Oditur Militer mendakwa Mayor Dakhi dengan Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP (tentang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan, atau delik penadahan, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama empat tahun.
Majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya akhirnya memindahkan lokasi persidangan perkara Mayor Dakhi itu ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura di Kota Jayapura, antara lain karena sebagian besar saksi perkara itu berada di Kota Jayapura. Pada 19 Januari 2023 lalu Oditur Militer perkara Mayor Dakhi menuntutnya dijatuhi pidana 4 tahun penjara.
LBH Papua mendesak majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani akan menjatuhkan putusan yang seberat-beratnya kepada Mayor Dakhi. LBH Papua juga meminta Komisi Yudisial turun tangan mengawasi sidang kasus pembunuhan dan mutilasi yang sedang berlangsung di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura.
“Berpijak kepada hak konstitusional kami, LBH Papua mengunakan kewenangan yang diberikan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [untuk] berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. [Kami meminta] Komisi Yudisial segera mengawasi proses pemeriksa perkara pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga sipil Nduga yang digelar Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Pengadilan Militer III-19 Jayapura,” demikian keterangan pers tertulis LBH Papua.
Dalam keterangan pers tertulisnya, LBH Papua juga mengecam tindakan Jaksa dan Oditur Militer yang tidak melakukan penelitian sebelum menjalankan proses hukum terhadap para prajurit TNI yang diperiksa di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura. Kelalaian itulah yang dinilai menjadi penyebab konstruksi dakwaan Mayor Dakhi menempatkan delik pembunuhan berencana sebagai dakwaan pertama lebih subsider, dan justru menaruh delik penadahan sebagai dakwaan pertama primer.
LBH Papua juga mengecam Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer yang tidak menjalankan kewenangannya untuk memastikan perkara keenam prajurit TNI AD dalam kasus pembunuhan berencana dan mutilasi itu melalui peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika.
LBH Papua menegaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan itu diatur Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana junto Pasal 198 ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Militer junto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Selama ini belum ada penyataan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan maupun Menteri Kehakiman terkait proses hukum terhadap oknum anggota TNI pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan oknum TNI di Pengadilan Militer dilakukan tanpa mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” demikian keterangan pers tertulis LBH Papua.
LBH Papua menilai Mahkamah Agung telah mengabaikan kewenangannya sesuai perintah Pasal 16, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LBH Papua juga mempertanyakan komitmen Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dalam menjalankan tugas penanganan perkara koneksitas dan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditur dan penanganan perkara koneksitas sesuai Pasal 25c huruf c dan huruf f, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
LBH Papua menyatakan Negara melalui pemerintah harus dapat memenuhi hak atas keadilan bagi empat warga Nduga korban pembunuhan berencana dan mutilasi itu. “Sesuai ketentuan Pasal 28d ayat (1), UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” demikian keterangan pers LBH Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar