Kamis, 19 Januari 2023

Keluarga Korban Mutilasi Mimika Kecewa Hasil Tuntutan Mayor Dakhi

 

Keluarga korban pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Mimika merasa kecewa atas tuntutan Oditur Militer terhadap terdakwa Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi dalam persidangan yang digelar Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura, pada Kamis (19/1/2023). Kuasa hukum keluarga korban juga mempertanyakan konstruksi surat dakwaan Oditur untuk Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi, yang berujung dengan tuntutan 4 tahun penjara dan pemecatan dari dinas TNI AD kepada Mayor Dakhi.

Keluarga empat korban pembunuhan dan mutilasi Mimika merasa kecewa dengan tuntutan yang disampaikan Oditur kepada Mayor Dakhi dalam sidang Kamis. “Sampai hari ini kami keluarga belum terima kepala, kaki, dan tangan keempat korban. Yang dikremasi itu hanya sebagian tubuh saja. Tuntutan itu tidak sesuai dengan apa yang dia buat,” kata Pale Gwijangge di Kota Jayapura, Kamis. Gwijangge adalah salah satu kerabat korban yang sempat dihadirkan sebagai saksi sidang perkara Mayor Dakhi di Pengadilan Militer III-19 Jayapura pada Rabu (18/1/2023).

Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi adalah satu dari enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga yang terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Sejumlah lima tersangka lainnya adalah Kapten Inf Dominggus Kainama (telah meninggal dunia pada 24 Desember 2022 karena penyakit jantung), Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktaf Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.

Dakhi menjalani persidangan kasus pembunuhan dan mutilasi itu di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Perkara itu diperiksa majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani. Sidang pemeriksaan saksi perkara itu dipindahkan ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura, karena sebagian besar saksi perkara pembunuhan dan mutilasi itu ada di Papua.

Saat membacakan tuntutannya dalam sidang Kamis, Oditur menyatakan Mayor Dakhi terbukti bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHPdan Pasal 121 ayat (1) KUHPM. Oditur menuntut Mayor Dakhi dengan hukuman 4 tahun penjara dikurangi masa tahanan, dan dipecat dari TNI AD.

Pale Gwijangge menegaskan bahwa persidangan perkara Mayor Dakhi sudah jelas membuktikan bahwa Dakhi terlibat dalam seluruh proses perencanaan pembunuhan dan mutilasi keempat warga Nduga itu. Gwijangge juga berpegang kepada rekonstruksi kasus pembunuhan dan mutilasi itu, yang digelar di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, pada 3 September 2022.

“Terdakwa jelas ada di gudang solar [yang menjadi Tempat Kejadian Perkara atau TKP pertama]. Begitu juga keberadaan dia di TKP lainnya. Kenapa harus Pasal 480 dan Pasal 121 KUHPM yang dikenakan?” Gwijangge mempertanyakan tuntutan Oditur.

Hal senada disampaikan Aptoro Lokbere, kakak dari Arnold Lokbere. Aptoro menilai Oditur tidak berpihak kepada keluarga korban, tetapi justru lebih terlihat seperti penasihat hukum untuk terdakwa. “Ini yang dibunuh dan dibuang manusia, bukan binatang. Apa yang dilakukan Mayor Dakhi bersama anggotanya sangat keji dan tidak bisa dimaafkan,” kata Aptoro.

Menurut Aptoro, delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur Pasal 340 KUHP dan diancam hukuman maksimal pidana mati merupakan pasal yang pas untuk menjerat pelaku pembunuhan berencana. Ia menilai ancaman hukuman delik itu setimpal dengan perbuatan terdakwa Mayor Dakhi. “Kami minta Mayor Dakhi diperlakukan sama seperti anak buahnya, sebab dalam rekonstruksi terbukti terlibat dalam semua rangkaian yang direncanakan,” tegasnya.

Konstruksi Surat Dakwaan dipertanyakan

Kuasa hukum keluarga korban pembunuhan dan mutilasi Mimika, Gustaf Kawer menyampaikan sejak awal sidang Oditur dan Majelis Hakim kurang berkomunikasi dengan pihak keluarga korban pembunuhan dan mutilasi itu. Kawer juga mempertanyakan konstruksi Surat Dakwaan Oditur kepada Mayor Dakhi, yang menempatkan delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair dalam kasus pembunuhan dan mutilasi itu.

“Dari awal kami sudah melihat kontruksi dakwaan salah. Seharusnya, [delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur] Pasal 340 KUHP yang menjadi [dakwaan] primer, seperti yang dikenakan [terhadap] lima terdakwa lainnya. Bukan [malah menjadikan] pasal [dengan ancaman hukuman] ringan [sebagai dakwaan primer],” kata Kawer

Kawer berharap majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani akan membuat putusan yang berbeda dari tuntutan Oditur. “Itu bisa terjadi apabila hakim berpatokan pada fakta persidangan, yang mana ada unsur perencanaan [pembunuhan],” ujar Kawer.

Kawer menyebut para saksi yang dihadirkan dalam perkara Dakhi memberikan keterangan yang jelas tentang keterlibatan Dakhi mengatur siasat untuk bagaimana menjebak korban pada pertemuan perencanaan pembunuhan dan mutilasi itu yang berlangsung di sebuah sasana kebugaran di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, pada 19 Agustus 2022. Kawer juga menyatakan persidangan menunjukan bahwa Dakhi juga berada di gudang solar milik saksi Jack pada 20 Agustus 2022, dan mengetahui batalnya rencana transaksi jual-beli senjata pada 21 Agustus 2022.

“Terdakwa juga tahu soal kejadian pada 22 Agustus 2022 malam, sampai dibuangnya empat korban di Sungai Pigapu. Bahkan uang yang di bagi-bagi itu dari hasil perencanaan. Jadi kalau Oditur tuntut dengan Pasal 480 [KUHP], terlalu jauh, sebab itu bukan kasus atau perkara penadahan. Itu [kasus] pembunuhan berencana yang menghilangkan nyawa empat warga Nduga secara keji,” sambungnya.

Gustaf Kawer menyatakan majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya akan menjadi benteng terakhir bagi masyarakat dan keluarga korban pembunuhan dan mutilasi Mimika untuk mencari keadilan.“Harapan kami, majelis halim bisa memberikan hukuman yang maksimal sesuai [ketentuan] Pasal 340 [KUHP]. Kami tidak mau perkara itu seperti kasus lain, seperti kematian Pendeta Sinambani dan [penembakan pelajar di] Paniai yang menurut kami proses [hukumnya] tidak jelas,” tegas Kawer.

Sebelumnya, dalam persidangan perkara pembunuhan dan mutilasi Mimika di Surabaya pada 19 Desember 2022, Dakhi didakwa Oditur Letnan Kolonel Chk Eri dengan dakwaan berlapis atas perkara pembunuhan dan mutilasi itu, termasuk pasal pembunuhan berencana yang diancam hukuman mati. Akan tetapi, dakwaan pembunuhan berencana itu ditempatkan Oditur sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.

Pada dakwaan pertama primer, Oditur mendakwa Dakhi dengan Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP (tentang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan), dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama empat tahun.

Pada dakwaan pertama subsidair, Dakhi didakwa dengan Pasal 365 ayat (4) jo 55 ayat (1) KUHP (tentang bersama-sama atau sendiri-sendiri melakukan pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian yang mengakibatkan kematian) yang diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pada dakwaan pertama lebih subsidair, Dakhi didakwa dengan Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) KUHP (secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain) atau pasal pembunuhan berencana yang diancam hukuman maksimal pidana mati.

Oditur juga mengenakan dakwaan kedua yang disusun sebagai dakwaan alternatif. Pertama, Dakhi didakwa dengan Pasal 132 KUHP Militer (sengaja mengizinkan seorang bawahan melakukan suatu kejahatan, atau yang menjadi saksi dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang bawahan dengan sengaja tidak mengambil sesuatu “tindakan” (maatregel) kekerasan yang diharuskan sesuai kemampuannya terhadap pelaku tersebut) yang diancam dengan pidana yang sama pada percobaannya.

Kedua, Dakhi didakwa Pasal 121 ayat (1) KUHP Militer (sengaja meneruskan atau menyampaikan suatu pemberitahuan jabatan yang tidak benar kepada penguasa,atau dengan sengaja melalaikan untuk meneruskan suatu pemberitahuan yang semestinya wajib ia teruskan karena jabatan kepada penguasa yang berhak, atau yang karena pendiamannya dapat merugikan kepentingan dinas atau Negara), diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

Ketiga, Dakhi didakwa Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP (bersama-sama atau sendiri-sendiri setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat Kehakiman atau Kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan Kepolisian), diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Keempat, Pasal 181 jo pasal 56 ke-2 KUHP (barang siapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya yang sengaja memberi kesempatan , sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan), diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Hingga akhirnya pada Kamis, Oditur menyatakan Mayor Dakhi hanya terbukti bersalah melanggar Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 121 ayat (1) KUHPM, dan menuntut Dakhi dihukum dengan hukuman 4 tahun penjara dikurangi masa tahanan, dan dipecat dari TNI AD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar