Tampilkan postingan dengan label LBH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LBH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Januari 2023

Komisi Yudisial Didesak Awasi Sidang Kasus Mutilasi 4 Warga Nduga

Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua meminta Komisi Yudisial untuk turun tangan dan mengawasi persidangan kasus pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga Nduga yang digelar digelar Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura.

Desakan itu disampaikan setelah Oditur Militer kasus itu menuntut Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi dijatuhi pidana 4 tahun penjara, karena dinilai Oditur Militer hanya terbukti bersalah melakukan penadahan dan menahan informasi kepada atasan.

LBH Papua menyatakan sejak awal kasus pembunuhan berencana dan mutilasi itu disidangkan pengadilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika, karena kasus pembunuhan dan mutilasi itu melibatkan tiga warga sipil. Akan tetapi, enam prajurit enam prajurit Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo yang terlibat kasus itu diadili di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura.

Kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga itu terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Keempat korban pembunuhan dan mutilasi itu adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini.

Proses persidangan di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura menerapkan dakwaan yang berbeda-beda bagi keenam prajurit TNI itu yang terlibat kasus pembunuhan berencana dan mutilasi itu. Sejumlah lima prajurit diperiksa Pengadilan Militer III-19 Jayapura, dan pada 12 Desember 2022 didakwa dengan dakwaan primer pasal pembunuhan berencana. Mereka adalah Kapten Inf Dominggus Kainama (telah meninggal dunia pada 24 Desember 2022 karena penyakit jantung), Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Rizky Oktaf Muliawan, Pratu Robertus Putra Clinsman, dan Praka Pargo Rumbouw.

Seorang lainnya, Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dakhi diperiksa Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Surabaya, Jawa Timur. Berbeda dengan kelima anak buahnya, Surat Dakwaan Oditur kepada Mayor Dakhi pada 19 Desember 2022 menempatkan delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsider dalam kasus pembunuhan dan mutilasi itu.

Pada dakwaan pertama primer, Oditur Militer mendakwa Mayor Dakhi dengan Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP (tentang secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan, atau delik penadahan, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama empat tahun.

Majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya akhirnya memindahkan lokasi persidangan perkara Mayor Dakhi itu ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura di Kota Jayapura, antara lain karena sebagian besar saksi perkara itu berada di Kota Jayapura. Pada 19 Januari 2023 lalu Oditur Militer perkara Mayor Dakhi menuntutnya dijatuhi pidana 4 tahun penjara.

LBH Papua mendesak majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani akan menjatuhkan putusan yang seberat-beratnya kepada Mayor Dakhi. LBH Papua juga meminta Komisi Yudisial turun tangan mengawasi sidang kasus pembunuhan dan mutilasi yang sedang berlangsung di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Kota Jayapura.

“Berpijak kepada hak konstitusional kami, LBH Papua mengunakan kewenangan yang diberikan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [untuk] berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. [Kami meminta] Komisi Yudisial segera mengawasi proses pemeriksa perkara pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga sipil Nduga yang digelar Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di Pengadilan Militer III-19 Jayapura,” demikian keterangan pers tertulis LBH Papua.

Dalam keterangan pers tertulisnya, LBH Papua juga mengecam tindakan Jaksa dan Oditur Militer yang tidak melakukan penelitian sebelum menjalankan proses hukum terhadap para prajurit TNI yang diperiksa di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura. Kelalaian itulah yang dinilai menjadi penyebab konstruksi dakwaan Mayor Dakhi menempatkan delik pembunuhan berencana sebagai dakwaan pertama lebih subsider, dan justru menaruh delik penadahan sebagai dakwaan pertama primer.

LBH Papua juga mengecam Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer yang tidak menjalankan kewenangannya untuk memastikan perkara keenam prajurit TNI AD dalam kasus pembunuhan berencana dan mutilasi itu melalui peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri Kota Timika.

LBH Papua menegaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan itu diatur Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana junto Pasal 198 ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Militer junto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Selama ini belum ada penyataan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan maupun Menteri Kehakiman terkait proses hukum terhadap oknum anggota TNI pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi empat warga Nduga di Kabupaten Mimika, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan oknum TNI di Pengadilan Militer dilakukan tanpa mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” demikian keterangan pers tertulis LBH Papua.

LBH Papua menilai Mahkamah Agung telah mengabaikan kewenangannya sesuai perintah Pasal 16, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LBH Papua juga mempertanyakan komitmen Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dalam menjalankan tugas penanganan perkara koneksitas dan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditur dan penanganan perkara koneksitas sesuai Pasal 25c huruf c dan huruf f, Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

LBH Papua menyatakan Negara melalui pemerintah harus dapat memenuhi hak atas keadilan bagi empat warga Nduga korban pembunuhan berencana dan mutilasi itu. “Sesuai ketentuan Pasal 28d ayat (1), UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” demikian keterangan pers LBH Papua.

Rabu, 09 November 2022

LBH Siap Bantu Korban Penganiayaan di Pos Damai Cartenz Keerom

 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau APIK Jayapura, Nur Aida Duwila menyatakan sejumlah lembaga bantuan hukum di Papua memberikan pendampingan hukum terhadap tiga anak yang menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan prajurit TNI AD di Kabupaten Keerom.
Pendampingan itu untuk memastikan para pelaku diproses hukum dan para korban mendapatkan pemulihan psikososial.

Nur menyatakan sejumlah lembaga bantuan hukum LBH yang akan melakukan pendamping itu adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau APIK Jayapura,Pos Bantuan Hukum Cenderawasih, Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua atau LP3A-P, dan Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi Kota Jayapura.

“Pengacara di Peradi Jayapura ada yang siap membantu,” kata Nur.

Rahmat Paisei (14) bersama Bastian Bate (13), dan Laurents Kaung (11) diduga dianiayai di Pos Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Jalan Maleo, Kampung Yuwanain, Arso II, Distrik Arso, Kabupaten Keerom. Ketiga anak itu dianiayai menggunakan rantai, gulungan kawat dan selang air hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Menurut Nur, para prajurit TNI AD yang menganiaya ketiga anak itu harus mempertanggung jawab perbuatan mereka. “Proses hukum harus tuntas. Bagaimana pun, apa pun, akan kami lakukan. Komitmen kami [pelaku] harus diproses hukum. Intinya sesalah apapun anak itu, ada penyelesaian. Kalau mereka dituduh mencuri, ada pihak pihak kepolisian yang bisa memproses mereka,” ujarnya.

Nur menyatakan kekerasan yang diduga dilakukan prajurit TNI akan menambah daftar kekerasan di Papua. Menurut Nur tidak seharusnya ketiga anak itu dianiayai. “Tidak ada ‘ko mencuri jadi saya pukul kau’, tidak seperti itu. Kalau dia mencuri, lapor polisi, polisi yang melakukan proses hukum, bukan dianiaya,” katanya.

Nur menyatakan kekerasan yang diterima anak-anak ini dikhawatirkan akan terbawah hingga mereka dewasa. Hal itu tentu akan dapat membuat mereka melakukan kekerasan kepada generasi berikutnya.

Nur menyatakan semua pihak memiliki tanggung jawab untuk memutus rantai kekerasan terhadap orang Papua, terutama terhadap anak-anak Papua. Pemutusan rantai kekerasan penting agar tidak ada generasi berikutnya tidak mengalami hal yang sama yang dialami tiga anak-anak di Keerom itu. “Hari ini kami punya komitmen untuk tidak lagi melakukan kekerasan terhadap anak seperti itu,” ujarnya.

Direktur Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua, Siti Akmianti menyatakan masih menunggu informasi dari koalisi untuk melakukan pendampingan terhadap 3 anak di Keerom itu.

“Kami LP3A-P belum bisa memberikan informasi [bentuk pendampingan], sebab kami belum mengetahui perkembangan dari tim koalisi untuk advokasi kasus kekerasan itu,” kata Sita.

Orangtua Rahmat, Elvi Yoku menyatakan telah menyerahkan proses hukum untuk ditangani tim lembaga bantuan hukum, Komnas HAM Papua dan Pomdam XVII/Cenderawasih. Ia berharap pelaku penganiayaan terhadap anaknya dan kedua temannya diproses hukum.

“Mama sudah serahkan [proses hukum para pelaku] kepada mereka. Jadi selanjutnya saya dengar dari mereka,” kata Yoku.

Yoku menyatakan hingga saat ini anaknya Rahmat masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Angkatan Darat Marthen Indey di Kota Jayapura. Ia menyatakan kondisi Rahmat belum membaik. Anaknya masih susah makan dan sering muntah. “Masih muntah. Hari ini muntah dua kali, muntahnya kuning sekali,” ujarnya.

Jumat, 19 Agustus 2022

Penyelesaian Kasus Paniai Berdarah Harus Melalui Banyak Pilihan Hukum

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, mengatakan proses penyelesaian “Paniai Berdarah” banyak pilihan aturan hukum.

Dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 1 Tahun 2021 yang sekarang sudah berubah menjadi UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, dalam pasal 45-47 mengatur tentang HAM dan merekomendasikan pengadilan HAM.

“Semenjak Otsus bergulir di Tanah Papua, pemerintah tidak membuat pengadilan HAM di Papua,” katanya, kepada wartawan saat jumpa pers yang digelar di Kantor LBH Papua, Minggu (14/8/2022) .

Gobay berpendapat bahwa kasus-kasus di atas tahun 2000 seperti Wamena Berdarah dan salah satunya Paniai Berdarah , dapat diselesaikan di pengadilan HAM di Papua.

“Karena untuk kasus pelanggaran HAM di tahun bawah 2000 seperti Tanjung Priuk, Timor Leste, dan Abepura Berdarah itu sudah dilaksanakan. Sehingga khusus untuk kasus pelanggaran HAM berat seperti Paniai Berdarah ini bisa diselesaikan di Papua, dengan pengadilan HAM di Papua,” katanya.

Jika pemerintah konsisten selama 20 tahun implementasi Otsus Papua, atau karena pasal tentang pengadilan HAM sudah termuat dalam UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, maka seharusnya dapat dibentuk pengadilan HAM di Papua.

“Itupun kalau pemerintah memaksimalkan amanat UU Otsus itu dengan baik, maka kasus Paniai Berdarah bisa diselesaikan di Papua dengan pengadilan HAM,” katanya.

Hal yang mengkhawatirkan bahwa apabila sidang di Makassar, tentunya keluarga korban dan saksi tidak akan menghadiri proses persidangan tersebut.

Karena alasan mereka, tempat persidangan jauh, tidak ada yang melindungi saksi hidup dan keluarga korban, selain itu juga terkait dengan pelaku penembakan empat orang pelajar, pembunuhan [tersebut] ditetapkan Kejaksaan Agung hanya satu pensiunan perwira, sementara yang melakukan penembakan itu banyak. ,” katanya.

Selain itu, Gobay juga mempertanyakan kinerja dari Komnas HAM RI dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung terkait dengan pelaku penembakan empat pelajar di Kabupaten Paniai, mengapa hanya satu orang.

“Kami mau pertanyakan hasil investigasi Komnas HAM RI Perwakilan Papua, banyak penyebab mengapa yang diadili hanya satu pelaku, Kejaksaan Agung hingga kini hanya menetapkan IS, seorang pensiunan petugas penghubung sebagai tersangka tunggal dalam tragedi Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014, ada apa sebenarnya?” katanya.

Sekretaris Bersatu untuk Kebenaran Papua (BUK Papua), Nehemia Yarinap mengatakan sejak awal sangat pesimis dengan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di Paniai.

“Kasus Paniai akan sama seperti proses penyelesaian kasus Abepura Berdarah, di mana para pelaku pelanggaran HAM divonis bebas,” katanya.

Yarinap mengatakan proses kejahatan sering kali ditunda-tunda oleh Kejaksaan Agung, dan selalu ada penguluran waktu penetapan tersangka. Diduga pula, ada krim penghilangan barang-barang bukti agar pelaku tidak dapat dijerat hukum sesuai perbuatannya.

“Karena sejak tahun 2014-2022, kemudian Kejaksaan Agung menetapkan satu pelaku pensiunan perwira tentara. Sementara pelaku lainnya dikemanakan? Jangan sampai kasus pelanggaran HAM berat ini sebagai bahan pencitraan Indonesia di panggung-panggung internasional, karena ini pelanggaran HAM serius,” tegasnya.

Ia juga meminta Kejaksaan Agung agar dapat meninjau kembali putusan atas pelaku, atau penetapan lokasi penembakan empat pelajar dan korban luka-luka lainnya, harus diumumkan sesuai dengan hasil investigasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM RI.

“Kami menduga bahwa dalam menciptakan pelaku ini, ada intervensi dari pihak-pihak terkait. Sebab dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Komnas HAM sudah menetapkan dan menyerahkan kepada Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung,” katanya.