Sabtu, 11 Februari 2023

Masih Jadi Pertanyaan, Siapa Pembakar Pesawat dan Penahan Pilot di Nduga?

 

Peristiwa pembakaran pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY dan menahan Capt. Pilot Philip Marthens pada 7 Februari 2013, di Distrik Paro-Ndugama oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai peristiwa pengulangan saja, bukan peristiwa baru yang mengejutkan kita.

Sebelumnya, TPNPB membakar pesawat MAF PK-MAX yang dipiloti Capt. Alex Luferchek berkebangsaan Amerika, 6 Januari 2020 di Bandara Kampung Pagamba, Distrik Biandaga-Intan Jaya, Papua. Ada dua penumpang dalam pesawat yang dibakar TPNPB itu.

Ada juga penembakan yang menyebabkan kematian Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, 25 April 2020 di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Hingga kini penembak sang jenderal ini masih misteri. Namun, negara menuduh pelakunya ialah pasukan TPNPB.

Ada peristiwa yang hampir sama, yaitu, penyerangan pos TNI di Kampung Kisor Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Kamis (21/9/2021), yang menewaskan empat anggota TNI AD. Keempat anggota TNI AD yang ditemukan meninggal dunia tersebut adalah Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu Chb Dirman.

Dari kekerasan ini, timbul pertanyaan kunci dalam tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mengurangi rasa hormat saya kepada pasukan TPNPB, yang berdiri kokoh dan gigih berjuang untuk hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan bangsa Papua Barat.

Pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebagai berikut:

Pertama, apakah benar pembakar pesawat MAF PK-MAX pada 6 Januari 2020 di Distrik Biandag, Kabupaten Intan Jaya, Papua, dan pembakar pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY, 7 Februari 2023, di Distrik Paro, Kabupaten Nduga itu murni dilakukan oleh pasukan TPNPB.

Kedua, apakah ada tangan pasukan TPNPB yang “dipinjam” oleh pihak lain, untuk membakar pesawat MAF PK-MAX pada 6 Januari 2020 di Distrik Biandaga, Kabupaten Intan Jaya, dan membakar pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY pada 7 Februari 2023 di Distrik Paro, Kabupaten Nduga.

Ketiga, apakah benar penembakan terhadap Kepala BIN Daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, di Beoga, Kabupaten Puncak, 25 April 2020 dilakukan oleh pasukan TPNPB.

Keempat, apakah benar penembakan terhadap empat anggota TNI: Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu Chb Dirman di Kampung Kisor, Distrik Aifat pada 21 September 2021, dilakukan oleh pasukan TPNPB.

Kelima, apakah benar Abraham Tatemte dan Melkias Ky yang ditangkap TNI/Polri dan sedang diproses di pengadilan negeri adalah pelaku atau terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan empat anggota TNI di Kampung Kisor, Distrik Aifat, pada 21 September 2021.

Keenam, walaupun ribuan pasukan TNI organik dan nonorganik dikirim ke Papua dari waktu ke waktu untuk menghadapi pasukan TPNPB—yang sangat minim ketrampilan, persenjataan dan minim jumlah anggota, serta tidak ada peralatan canggih, tetapi kok pasukan TPNPB masih ada sampai sekarang.

Enam pertanyaan kunci di atas kita bandingkan dengan kutipan pandangan mendiang Dr. George Junus Aditjondro:

“…Jadi yang menghidupkan OPM juga tentara. Sekali lagi, maksudnya adalah biar ada uang operasi yang bos-bos atau jenderal-jenderalnya bisa makan. Kalau yang prajurit-prajurit, makannya cukup hasil tukar burung kuning. Yang bos-bos, makan jutaan duit operasi. Kalau tidak ada situasi genting, maka tidak akan keluar uang dari negara….Salah satu problem yang sering menghantui rakyat Papua, yaitu ‘OPM bayaran’ atau ciptaan aparat. OPM bayangan bentukan ini tidak segera dihilangkan, maka keberadaan Papua sebagai bagian terpadu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terus dipermasalahkan atau digugat…” (Aditjondro, 2000: 174, 175).

Enam pertanyaan kunci yang saya ajukan ini sangat mengganggu pikiran dan hati nurani saya selama ini. Pasalnya bahwa krisis kemanusiaan dan ketidakadilan di Tanah Papua yang berkepanjangan dan memakan banyak korban nyawa manusia, baik pihak rakyat sipil, maupun TNI/Polri.

Kita bisa tahu secara adil, benar dan transparan siapa pelaku sesungguhnya, apabila penembak Jenderal Gusti Putu, penembak 4 anggota TNI di Maybrat, pembakar pesawat di Intan Jaya, pembakar pesawat di Nduga, diinvestigasi oleh tim independen yang kredibel. Selama ini rakyat Papua dan Indonesia, serta komunitas internasional mengkonsumsi informasi dari satu pihak, yaitu dari pihak pemerintah dan TNI/Polri.

Kalau diteliti secara cermat seluruh kekerasan dan kejahatan ini, sepertinya kanker kejahatan “by design” untuk beberapa tujuan sebagai berikut:

Pertama, upaya sistematis untuk pengusiran penduduk asli Papua dari tanah leluhurnya, supaya tanah yang dikosongkan itu diambil oleh kaum kapitalis (pemodal) untuk operasi kapitaliame dalam pertambangan emas dan minyak. Kapitalis atau pemodal pasti dilindungi oleh militer dan kepolisian dengan alasan perusahaan aset vital milik negara.

Kedua, tanah yang dikosongkan oleh penduduk asli Papua itu digunakan untuk pembangunan markas militer dan kepolisian yang lebih luas, pembangunan kodam-kodam dan polda, dengan alasan wilayah itu tidak aman dan untuk melindungi rakyat;

Ketiga, penduduk dari luar Papua didatangkan ke wilayah atau kampung-kampung yang sudah dikosongkan itu, untuk menduduki dan menempati kampung-kampung yang sudah kosong tadi. Jelaslah TNI/Polri menjadi penjaga/pelindung dari orang-orang pendatang itu.

Keempat, kekerasan ini juga bertujuan untuk memberikan label “teroris” kepada penduduk asli Papua, terutama kepada para pejuang keadilan, hak politik, kesamaan derajat, martabat kemanusiaan dan perdamaian.

Kelima, kekerasan ini juga mempunyai tujuan untuk menutupi kekerasan dan kejahatan negara selama ini, yang menyebabkan pelanggaran HAM berat—yang sudah menjadi persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan di forum-forum internasional, termasuk dalam forum PBB. Penguasa Indonesia berusaha mencuci tangan dengan menghilangkan kekerasan negara dan dituduhkan kepada pasukan TPNPB.

Keenam, kekerasan dan kejahatan ini merupakan bagian integral dari pemusnahan etnis penduduk asli Papua secara sistematis, terstruktur, terpogram, terpadu, masif dan kolektif oleh negara.

Akhirnya, disimpulkan bahwa solusi militer tentang persoalan Papua selama 62 tahun (sejak 19 Desember 1961) belum pernah menyelesaikan akar persoalan Papua. Sebaliknya militerisasi justru memperpanjang kekerasan dan kejahatan negara yang mengakibatkan penderitaan penduduk asli Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar