Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer menilai pemerintah Indonesia memang tidak menggunakan pendekatan humanis terhadap Orang Asli Papua. Kawer mempertanyakan pemerintah Indonesia yang terus mengabaikan upaya Jaringan Damai Papua dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk menjembatani dialog damai Papua.
“Selain itu, kita dapat melihat bahwa orang Papua berulang
kali melakukan demonstrasi, baik untuk menolak Otonomi Khusus Papua ataupun
Daerah Otonom Baru. Tetapi, Presiden dan Wakil Presiden terkesan tidak
mendengarkan aspirasi masyarakat Papua. Pemerintah melalui aparat keamanan
terus melakukan penghadangan dan pemukulan terhadap demonstran. Itu bukti bahwa
pendekatan negara Indonesia ke Tanah Papua tidak humanis,” kata Kawer saat
dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Selasa (7/6/2022).
Kawer menyatakan orang Papua selalu taat dengan berbagai
aturan yang dibuat pemerintah pusat, termasuk Otonomi Khusus Papua. Orang Papua
juga terus menjadi korban kekerasan aparatur negara, namun mau terus menawarkan
dialog. Akan tetapi, tawaran itu terus diabaikan negara Indonesia.
Menurut Kawer, berbagai fakta justru menunjukkan bahwa klaim
pemerintah Indonesia menerapkan pendekatan humanis hanyalah lip service
penguasa kepada orang Papua. Sejak lama, Lembaga llmu Pengetahuan (LIPI, yang
kini telah menjadi bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) dan
Jaringan Damai Papua (JDP) mendorong adanya dialog damai untuk menyelesaikan
konflik Papua, akan tetapi upaya itu diabaikan pemerintah.
“LIPI dan JDP telah mendorong untuk dialog Papua – Jakarta,
tapi tidak didengar oleh negara. Negara tidak merespon agenda damai yang
diusulkan oleh orang Papua. Polemik [baru terus] dibuat, Daerah Otonom Baru,
[setelah] sebelumnya masyarakat Papua menolak Otonomi Khusus. Itu [menunjukkan]
bagaimana negara tidak humanis dalam melakukan pendekatan kepada orang Papua,”
katanya.
Kawer mengatakan ada banyak langkah atau kebijakan yang
dapat dijalankan pemerintah Indonesia untuk membuktikan klaim mereka atas
pendekatan humanis di Papua. Pendekatan humanis itu dapat dibuktikan dengan
kemauan untuk menggelar dialog damai, langkah nyata untuk menarik pasukan
militer organik dan non-organik dari Tanah Papua, ataupun membatalkan rencana
pemekaran Papua.
“[Jika] Negara Indonesia [ingin] mewujudkan [pendekatan]
humanis itu, buktikan dengan dialog damai Papua dan Jakarta. Jangka pendek,
tarik pasukan militer organik dan non-organik yang berlebihan di Nduga, Puncak,
Intan Jaya, Maybrat. Orang Papua mau pendekatan penyelesaian masalah Papua
secara cara damai itu apa. Itu yang harus didengar oleh negara,” katanya.
Kawer mengatakan, negara indonesia terus memproduksi dan
mewarisi praktik pendekatan kebohongan, dengan membuat klaim “pendekatan
humanis” tanpa membuat perubahan nyata. Menurutnya, pemimpin indonesia harus
berani mengambil kebijakan nyata seperti yang diambil oleh Presiden Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur untuk Papua, ataupun kebijakan Presiden BJ Habibie untuk
Timor Leste.
“Gus Dur pendekatannya sedikit berbeda, dan Gus Dur
mendengar apa yang orang Papua mau. Habibie sedikit berbeda, sebab dia
mengizinkan Timor Timur referendum.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi terbiasa dengan berbagai [klaim
serupa] kebohongan berkelanjutan,” katanya.
Kawer mengingatkan bahwa pendekatan humanis itu bukan lip
service semata, namun diwujudkan dalam tindakan yang nyata. “Undang-undang
Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
menjamin kebebasan berekspresi [warga negara], termasuk masyarakat Papua,” kata
Kawer.
Akan tetapi, dalam praktinya aparat keamanan di Indonesia
terus menghalangi penyampaian pendapat dan kebebasan berekspresi orang Papua.
Tindakan aparat keamanan itu menunjukkan bahwa praktik penegakan hukum di Papua
memang jauh dari klaim “pendekatan humanis” yang disampaikan Wakil Presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar