Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar pada Rabu (12/10/2022) melanjutkan sidang perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat Paniai Berdarah. Serma Gatot Sugeng Riyanto sebagai salah satu dari tujuh saksi yang diperiksa pada Rabu menyatakan penggunaan senjata di Markas Komando Rayon Militer atau Koramil Paniai Timur adalah inisiatif sendiri, dan bukan didasarkan perintah terdakwa Mayor (Purn) Isak Sattu.
Dalam perkara Paniai Berdarah itu, Mayor (Purn) Isak Sattu menjadi terdakwa tunggal yang diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi. Isak Sattu didakwa dengan dua delik kejahatan terhadap kemanusiaan yang diancam hukuman terberat pidana mati, dan hukuman teringan pidana 10 tahun penjara.
Dalam kesaksiannya, Serma Gatot Sugeng Riyanto menyatakan penggunaan senjata oleh para personil Koramil Paniai Timur itu dipicu kepanikan ketika massa melempari Markas Koramil Paniai Timur dengan batu. Menurut Gatot, seusai apel pagi, Mayor (Purn) Isak Sattu selaku Perwira Penghubung meminta pasukan bersiap menuju Madi, untuk mengikuti pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Paniai.
Akan tetapi, sekitar pukul 08.00 WP, sudah ada ratusan orang berkumpul di Lapangan Karel Gobay dan melakukan tarian waita (tarian yang dilakukan massa dengan berlari berkeliling bersama-sama, membentuk pusaran manusia yang berputar cepat). “Jadi kami tak sempat ke Madi, karena duluan massa datang,” kata Gatot yang saat tragedi Paniai Berdarah terjadi masih berpangkat Serda.
Gatot bersaksi, secara tiba-tiba ada beberapa orang memasuki halaman Koramil dengan membawa senjata tajam, seperti parang dan kapak. “Kami memintanya untuk keluar halaman,” kata Gatot.
Ia menjelaskan bahwa Markas Koramil Paniai Timur berhadapan dengan Lapangan Karel Gobay, Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, lokasi terjadinya tragedi Paniai Berdarah yang menewaskan Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei. Gatot menuturkan, pasukan TNI di Koramil Paniai Timur bertanya-tanya mengenai pangkal sebab aksi massa itu.
Tiba-tiba, beberapa orang mulai melemparkan batu ke arah Markas Koramil Paniai TImur. Darwis sebagai Bintara Tata Urusan Dalam Koramil Paniai Timur mencoba melakukan negosiasi dengan massa, tapi tak menemukan hasil. Massa semakin nekat.
Tiba-tiba, beberapa anggota Koramil Paniai Timur, mengambil senjata. Gatot pun mengambil senjata jenis SS1 dan M16. Gatot mengakui, saat itu ia tak lagi memperhatikan perintah terdakwa Isak Sattu selaku atasannya.
Gatot hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh prajurit TNI lainnya. Senapan SS1 yang dibawanya ia arahkan ke langit, lalu ia menembakkan tembakan peringatan. Massa tetap melakukan pelemparan. Gatot mengingat, ia menembak sebanyak tiga atau empat kali, sampai akhirnya pelan-pelan massa mulai mundur.
Beberapa saat kemudian, tim kepolisian mulai memasuki Lapangan Karel Gobay, membuat massa mundur. “Kami masih duduk di halaman Koramil, dan liat ada mayat yang diangkat dari arah lain lapangan,” kata Gatot. “Mayat itu tidak langsung dibawa ke depan koramil, tapi dibawah ke arah lain, saya tidak tau kemana,” ujarnya.
Gatot menjelaskan Isak Sattu merupakan perwira dengan pangkat tertinggi di Koramil Paniai Timur saat tragedi Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014, karena Komandan Koramil Paniai Timur tengah berada di Nabire. Dalam ingatan Gatot, Isak Sattu memberikan pengarahan, dan meminta penjelasan mengapa massa menyerang Markas Koramil.
“Setelah massa bubar, kami memungut selongsong peluru. Jumlahnya saya tidak tahu, tapi kalau saya sendiri pungut tiga,” kata Gatot.
Saat ditanyai jaksa tentang dugaaan adanya warga yang tertembak di depan pagar Koramil, Gatot hanya menjawab singkat: tidak tahu.
Saat ditanyai tentang dugaan penikaman yang dilakukan anggota Koramil, Serka Jusman, Gatot mengaku tidak melihat penikaman itu. “Setelah kerusuhan, Pabung [Isak Sattu] meminta kami tidak keluar dari Koramil. Dan kami wajib ikut perintahnya,” katanya.
Serka Jusman yang juga hadir dalam persidangan Rabu membantah dugaan jaksa bahwa ia melakukan penikaman terhadap warga di Lapangan Karel Gobay pada 8 Desember 2014. Ia menyatakan dalam rentetan peristiwa Paniai Berdarah, ia terus bertahan di dalam Markas Koramil Paniai Timur.
“Saya tidak pernah keluar Koramil. Saya di halaman koramil, saat massa ada, dan setelah massa bubar,” katanya.
Peyimpanan Senjata di Kamar Depan Danramil
Sidang pada Rabu juga mendengarkan kesaksian Letda Wardi Hermawan. Dia adalah perwira yang memegang kunci ruangan penyimpanan senjata Koramil Paniai Timur.
Koramil Paniai Timur tak punya gudang atau ruangan khusus penyimpanan senjata. Senjata Koramil Paniai Timur disimpan di kamar depan rumah dinas Komandan Rayon Militer Paniai Timur, dengan Letda Wardi Hermawan sebagai pemegang kuncinya.
Wardi bersaksi pada 8 Desember 2014 pagi, ia menerima perintah dari terdakwa Mayor (Purn) Isak Sattu untuk menyiapkan senjata yang akan dibawa dalam perjalanan menuju Madi. Usai menerima perintah dari terdakwa Isak Sattu, Wardi menyatakan ia sempat ke kamar penyimpanan senjata dan peti senjata, lalu memeriksa 14 senjata api inventaris Koramil Paniai Timur itu. Akan tetapi, massa kemudian berkumpul di Lapangan Karel Gobay, sehingga Wardi mengembalikan semua senjata itu ke tempat semula.
Ketika massa mulai melempar Markas Koramil Paniai Timur, beberapa anggota TNI berlari mengambil senjata itu. Wardi bersaksi bahwa ia tidak mengetahui pengambilan senjata api itu atas perintah siapa.
Menurut Wardi, ada 14 senjata api di Koramil Paniai Timur, terdiri dari SS1, M16, dan stand gun. Wardi menyatakan selama menghalau massa yang mengepung Markas Koramil Paniai Timur, para prajurit TNI di sana menggunakan 13 pucuk senjata api. “Satu senjata tidak [digunakan], tertinggal satu [senjata] di peti,” katanya.
Akan tetapi, Wardi mengaku lupa jumlah peluru tajam yang ada di Markas Koramil Paniai Timur. Menurutnya, penggunaan senjata oleh anggota TNI di Koramil Paniai Timur selalu dicatat dalam sebuah format dan tertulis dalam sebuah buku. Namun, Wardi tidak bisa mengingat berapa jumlah peluru yang ditembakkan pada rangkaian peristiwa Paniai Berdarah. “Buku itu sudah disita juga sama tim dari internal TNI,” katanya.
Saksi Jusman menuturkan ia mengambil senjata yang dipegang oleh Sersan Edo, dengan alasan Sersan Edo masih anggota baru. “Massa sudah brutal, mereka gunakan batu, panah, kayu dan parang. Mereka mulai goyangkan pagar,” kata Jusman.
“Jadi saya juga lakukan tembakan peringatan. Saya [melakukan tembakan peringatan] tiga kali,” lanjutnya. “Waktu itu tidak ada perintah, tapi spontanitas saja,” ujar Jusman.
Hakim anggota Siti Noor Laila, mendengar penjelasan itu dengan saksama. “Ini sebenarnya anggota Koramil yang panik hadapi massa, atau massa yang tidak bisa dikendalikan?” tanyanya.
“Siap. Saat itu kami [anggota Koramil] yang panik,” jawab Jusman.
Anggota Koramil lain yang ikut menembakkan senjata secara spontan adalah Sertu Supriono. Sertu Supriono menjelaskan bahwa ia mengambil senjata bukan dari ruangan penyimpanan senjata ataupun peti senjata. “Senjata itu sudah siap di teras koramil. Jadi saya tinggal ambil saja,” katanya.
Bagi Supriono, melakukan tembakan peringatan adalah bagian dari pencegahan dan posisi mempertahankan Markas Koramil. “Posisi terancam. Tanpa perintah. Spontan,” katanya.
Akan tetapi, Supriono menyatakan tembakan peringatan yang dikeluarkan oleh anggota Koramil Paniai Timur membuat massa semakin nekat. Supriono dan beberapa rekannya mencari perlindungan. Selanjutnya, dia mendengar suara tembakan dari arah Markas Kepolisian Sektor Paniai Timur. Setelah 30 menit, massa berangsur bubar.
Saksi yang lain, Sertu Sugiantoro memberikan kesaksian yang berbeda. Menurutnya, penggunaan senjata Koramil Paniai Timur didasarkan perintah terdakwa Isak Sattu. “Perintah Pabung, lakukan tembakan peringatan ke atas,” katanya.
Sugiantoro menembak antara tujuh hingga delapan kali ledakan. Di sampingnya, ada Gatot, Satrio, dan Jusman. Dia melihat Gatot terkena lemparan batu dan kepalanya berdarah.
“Adakah perintah dari Pabung untuk menghentikan tembakan?,” tanya Jaksa.
“Saya tidak tahu. Tidak dengar. Setelah menembak dan massa masih bereaksi, saya ke mess belakang Koramil. Saya amankan diri karena mau menelpon istri,” kata Sugiantoro.