Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer menyatakan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR harus meninjau semua kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal itu dinyatakan Kawer di Kota Jayapura, Jumat (26/8/2022).
Kawer menyatakan KKR nantinya harus mampu menjangkau semua kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kawer mengingatkan jumlah kasus pelanggaran HAM di Papua sangat banyak.
“Kita lihat dari dokumen International Coalition for Papua atau ICP, ada 749 kasus pelanggaran HAM di daerah pesisir Nabire, Biak, dan Manokwari sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 1977 – 1978 terjadi Operasi Koteka untuk wilayah pegunungan Papua. Itu laporan dari ICP dan Asian Human Right Commission, ada sekitar 4.146 orang di wilayah pegunungan tengah yang mengalami pelanggaran HAM yang serius. Banyak kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 1970-an juga belum diselesaikan Negara,” kata Kawer.
Kawer mengatakan RUU KKR juga harus meninjau kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, Aceh, dan pembunuhan massal pasca Gerakan 30 September 1965. Kasus Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok, dan berbagai kasus pelanggaran HAM atau penghilangan paksa lainnya juga harus bisa dijangkau mekanisme yang diatur RUU KKR. “Kasus pelanggaran HAM berat itu sangat banyak terjadi di Tanah Papua, bahkan di Indonesia,” ujar Kawer.
Kawer mengingatkan bahwa Indonesia sudah pernah membuat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR. Akan tetapi, UU KKR versi 2004 itu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
UU KKR lama itu dianggap bermasalah karena Pasal 1 ayat 9 UU itu justru mengatur pemberian amnesti bagi pelanggara HAM. Pasal 27 UU itu juga membuat aturan yang menghalangi korban atau keluarga korban mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi. menghapuskan perkara pelanggaran HAM yang telah diselesaikan
“Ada mandat dalam undang-undang itu, [bahwa] amnesti diberikan pemerintah melalui pertimbangan DPR. Saya kira itu bukan soal hukum, tetapi itu sangat politis. Dalam Pasal 27, kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti [bagi pelaku pelanggaran HAM] dikabulkan. Kalau pemerintah tidak kabulkan amnesti bagi pelaku, berarti korban tidak dapat kompensasi dan rehabilitasi. Itu kontroversi UU KKR lama,” kata Kawer.
Pasal 44 UU KKR lama juga kontroversial, karena menyatakan perkara yang telah diselesaikan melalui KKR tidak bisa diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc. “Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, Pasal 44 undang undang KKR Nomor 27 Tahun 2004 ini lah yang digugat oleh kawan-kawan koalisi hukum dan HAM di Jakarta, [sehingga UU KKR itu dibatalkan] Mahkamah Konstitusi,” kata Kawer.
Kawer menjelaskan ketentuan mengenai pembentukan KKR juga diatur secara tersendiri oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) “Dalam UU Otsus Papua itu mengatur tentang KKR. [Yang menjadi] tanda tanya, [tugas KKR menurut UU Otsus Papua itu melakukan] klarifikasi sejarah untuk memantapkan persatuan dan kesatuan RI. Jadi, mandatnya bukan menyelesaikan pelanggaran HAM. Pasal itu sangat politis, karena Negara berpikir bagaimana Negara [menjadi] baik tanpa memperdulikan korban dapat apa dari proses itu,” kata Kawer.
Bagi Kawer, substansi RUU KKR seharusnya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pengungkapan pelanggaran HAM, pengungkapan pelaku, dan mekanisme aparat keamanan TNI/Polri mengakui bahwa perbuatannya itu salah. “Setelah [pelaku] meminta maaf kepada korban, korban memaafkan, lalu korban mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, itu baru selesai [proses rekonsiliasinya],” kata Kawer.
Kawer mengingatkan bahwa semangat Indonesia mendorong RUU KKR seharusnya bukan didasari adanya tekanan dari dunia internasional. RUU KKR seharusnya dibuat atas dasar keinginan serius Indonesia menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
“Karena, kalau [dibuat hanya karena] ada tekanan dari luar, [misalnya] PBB, kemudian Negara membuat wacana, dan berakhir lagi [tanpa penyelesaian yang substantif]. Kami meminta Negara harus serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua,” kata Kawer.
Kawer juga menegaskan bahwa mekanisme rekonsiliasi yang akan diatur RUU KKR hanyalah salah satu cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Ia mengingatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) telah mengatur mekanisme untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum ada UU Pengadilan HAM, yaitu dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Menurut RUU KKR juga tidak boleh mengulangi kesalahan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 yang justru menjadikan mekanisme rekonsiliasi untuk membuat pelaku terhindar dari hukum.
“Kalau bukti kuat, mekanismenya melalui Pengadilan [HAM atau Pengadilan HAM Ad Hoc], sampai ada vonis, dan korban mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi. Itu baru kita bisa katakan korban mendapatkan keadilan,” kata Kawer.